Kumpulan Kutipan Soekarno Ketika Pergerakan
Pergerakan nasional
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” dan “ menjadi buruh antara bangsa-bangsa”, Tuan-tuan Hakim, – itu bukan nyaman! Itu bukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Itu bukan memberi perspektif pada hari kemudian itu, jikalau terus-terusan begitu! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan?
Dan toh.....apakah hak-hak bangsa kami, yang kiranya boleh jadi “imbangan” dari keadaan ekonomi yang menyedihkan itu? Apakah hak-hak bangsa kami yang boleh dipakai sebagai obat di atas luka hati nasional yang perih itu?
Pengajaran? Oh, di dalam “abad kesopanan” ini ..., orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum ada....1/2%! ...
Pajak-pajak enteng? ... Kang Marhaen yang pendapatnya setahun rata-rata hanya f 160. – itu, harus membayar pajak sampai kurang lebih 10% dari pendapatannya;
bahwa bagi bangsa Eropa pajak yang setinggi itu baru dikenakan kalau pendapatannya tak kurang dari f 8.000,- sampai dengan f 9.000,- setahun!
bahwa pajak yang istimewa mengenai Kang Marhaen, yang pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah f 86.900.000,- itu, di bawah pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock dinaikkan lagi menjadi f 173.400.000,- setahun!
bahwa teristimewa beban-beban desa sering berat sekali adanya!
Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya ada 343 rumah sakit gubernemen, kematian bangsa Bumiputra setahun tak kurang dari ±20%, ya, di dalam kota-kota besar sampai kadang-kadang 30, 40, 50%! ...
Kesempatan bekerja di pulau-pulau luar tanah Jawa? Soal kontrak dan poenale sanctie, perbudakan zaman baru atau moderne slavernij itu, seolah-olah takkan habis-habisnya “dipertimbangkan dan sekali lagi dipertimbangkan”, –
Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan yang melindungi kaum buruh tak ada sama sekali, ... hak mogok, yang di dalam negeri-negeri yang sopan sudah bukan soal lagi itu, dengan adanya pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, musnah sama sekali dari realiteit, terhalimunkan sama sekali menjadi impian belaka!
Kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul?...
Amboi, – adakah di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih saja berisi itu pasal-pasal mengenai penyebaran – rasa kebencian (haatzaaiartikelen) yang bisa diulur-ulur sebagai karet, ... di mana hak pendigulan memberi kekuasaan yang hampir tak terhingga kepada pemerintah terhadap tiap-tiap pergerakan dan tiap-tiap manusia yang ia tak sukai?
Adakah di sini hak-hak itu, di mana kritik di muka umum gampang sekali mendapat teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat penuh dengan spion-spion polisi, di mana hampir tiap-tiap pemimpin dibuntuti reserse di dalam gerak-geriknya ke mana-mana, di mana gampang sekali diadakan “larangan berapat”, di mana rahasia surat seringkali dilanggar diam-diam sebagai kami lihat dengan mata sendiri?
Adakah di sini hak-hak itu, di mana laporan spion-spion itu saja atau tiap-tiap surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat membikin penggerebekan di mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di dalam tahanan, yang menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia pembuangan?
Sesungguhnya: Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat Indonesia untuk jadi “imbangan” kepada bencana pergaulan hidup dan bencana kerezekian yang ditebar-tebarkan oleh imperialisme-modern itu;
tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat kami yang cukup nikmat dan menggembirakan untuk dijadikan pelipur hati nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh imperialisme-modern itu;
tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai pegangan sebagai penguat, sebagai sterking untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak-abrik kerezekian dan pergaulan hidup kami itu!